Ibuku Kurang Menghargai Jerih Payah Anak
Saya adalah anak pertama dari tujuh bersaudara dan sekarang empat adik saya sudah berkeluarga dan sudah pisah rumah. Dulu saya mempunyai penghasilan tetap sehingga dapat membiayai isteri, anak-anak saya dan adik-adik serta ibu. Dulu, dengan bantuan adik-adik – alhamdulillah- saya bisa membangunkan sebuah rumah cukup besar untuk ibu dan adik-adik yang belum berkeluarga. Meski begitu, sekarang saya dan keluarga mengontrak sebuah rumah
Penghasilan saya saat ini -alhamdulillah- bisa dikatakan cukup untuk kebutuhan sandang dan pangan saya, isteri dan ketiga anak saya. Walaupun sekali-kali saya dapat menyisihkan untuk ibu dan adik-adik saya. Kebutuhan ibu dan adik-adik saat ini setiap harinya ditanggung oleh adik-adik saya yang sudah berkeluarga. Sejak ayah meninggal hingga kini, ibu tidak diperkenankan bekerja. Ini merupakan hasil kesepakatan saya dan adik-adik.
Yang memang menjadi keprihatinan saya, sejak dulu sifat dan sikap ibu tidak berubah. Berapapun uang yang didapat dari anak-anaknya boros dan kurang mensyukuri. Bahkan, kalau si anak (A) memberinya besar, ia dipuji. Sementara itu jika anak yang lain (B) karena pemberiannya sedikit, maka diomongin. Apalagi anak seperti saya yang tidak setiap saat bisa memberi. Seolah-olah ibu tidak memaklumi kondisi kami.
Payahnya, keburukan dan kejelekan selalu diobral ke tetangga. Untungnya para tetangga memahami sifat ibu. Sifat cemburu (dalam masalah ekonomi) kepada anak dan menantunya benar-benar ditampakkan. Ibu tidak pernah mau berpikir dan menghargai jerih-payah anak-anaknya.
Terkadang, perkataan kotor dan jelek akhirnya menjadi penyebab timbulnya keributan kecil antara kami (saya dan adik-adik) versus ibu. Apabila pikiran dan amarahnya muncul, ucapan beliau tidak terkontrol. Padahal beliau aktif dalam pengajian di kampung. Alhamdulillah saya dan adik-adik tidak mempunyai sifat dan sikap seperti itu.
Perlu diketahui, kami selalu mengingatkan beliau, bahkan tak segan-segan meminta bantuan kerabat dekat lainnya. Sebagai tambahan informasi, sejak ditinggal ayah hingga sekarang, ibu mengidap hipertensi dan selalu kontrol ke dokter pada setiap bulannya.
Sebagai anak, kami benar-benar ingin berbakti kepada orang tua. Andaikan kami diberi rizki yang banyak, kami ingin memberangkatkan beliau berhaji, kalau memang itu bisa membuat ibu senang dan bahagia. Ingin selalu membahagiakan dan menyenangkan beliau, itulah tujuan kami. Tetapi kami sepenuhnya belum mampu, karena kondisi ekonomi kami pun belum mampu untuk itu. Melihat kondisi demikian, saya merasa bingung, mendahulukan ibu atau isteri dan anak-anak, atau bagaimana? Bagaimana pula menghadapi ibu agar tidak menimbulkan pertengkaran dengan beliau?
Bukan maksud kami untuk membuka aib ibu, tetapi kami ingin memperoleh kejelasan dan doa, agar kami diberi ketabahan, kesabaran menghadapai cobaan ini, serta hidayah bagi ibu.
Adw, Btn
JAWAB :
Kami sangat salut dengan kekompakan Anda melayani ibu. Baik buruknya sosok ibu tidak menghilangkan kewajiban anak untuk tetap berbakti kepadanya. Karena, bagaimanapun keadaan dan kedudukannya, ibu tetaplah orang tua kita.
Oleh karena itu, ada baiknya sikap seorang anak kepada orang tuanya, harus banyak mengalah. Kalaupun saat komunikasi timbul kemarahan (pertengkaran), tidak ada salahnya jika Anda diam, dan selalu ingat, bahwa durhaka kepada orang tua, baik dengan dengan perkataan, maupun dengan perbuatan merupakan dosa-dosa besar yang paling besar.
Karena kewajiban anak kepada orang tua adalah untuk tawadhu` serta berlaku lemah lembut. Di dalam al Qur`an surat al Israa`/17 ayat 23-24, firman Allah سبحانه وتعالى menyebutkan : Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah : “Wahai Rabb-ku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
Hal ini tidaklah berarti, jika orang tua melakukan perbuatan yang tidak semestinya, anak membiarkannya. Tidak, bahkan anak berkewajiban untuk menasihati orang tua, tentu dengan sikap yang bijak. Sebagaimana Nabi Ibrahim عليه السلام memberikan nasihat kepada bapaknya.
Seperti sikap ibu yang boros, ingatkanlah beliau dengan perkataan yang lemah lembut tentang firman Allah عزوجل : Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabb-nya. (QS al Israa`/17 : 26-27).
Demikian juga tentang sifatnya yang tidak mensyukuri pemberian anak, dapat dinasihati dengan keutamaan sifat qana’ah, yaitu ridha terhadap pembagian Allah سبحانه وتعالى . Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :
طُوْبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الإِسْلَامِ وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا وَقَنَعًا
Beruntunglah orang yang ditunjukkan menuju Islam, penghidupannya cukup, dan dia qana’ah. (HR Tirmidzi, no. 2349; Ahmad, 6/19; dan lain-lain. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, no. 513).
Pada asalnya, berbuat baik kepada orang tua lebih didahulukan daripada berbuat baik kepada keluarga. Sebagaimana ditunjukkan oleh hadits :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ -رضي الله عنه- قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ : أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أُمُّكَ. قَالَ : ثُمَّ مَنْ؟ ثُمَّ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah, dia berkata : Seorang lelaki datang kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم , lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perbuatan kebaikanku?” Beliau menjawab,”Ibumu,” lelaki itu bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab,”Ibumu,” lelaki itu bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab,”Ibumu,” lelaki itu bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab,”Bapakmu.” (HR Bukhari, no. 5971; Muslim, no. 2548).
Namun dalam keadaan Anda dengan penghasilan yang pas-pasan, sedangkan kebutuhan ibu telah dicukupi oleh saudara-saudara yang lain yang mampu, maka tidak mengapa Anda mendahulukan nafkah isteri dan anak. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَـا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنَّى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
Sebaik-baik shadaqah adalah yang melebihi kecukupan (diri sendiri), dan mulailah orang yang engkau tanggung. (HR Bukhari, no. 1426).
Di antara doa yang dapat Anda panjatkan kepada Allah adalah :
رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Ya Rabb-ku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau, dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (QS al Ahqaaf/46:15).
Atau seperti doa: “Wahai Allah, jadikalah ibuku bersifat qana’ah, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Mengabulkan doa”, atau yang semakna dengannya.
Demikian nasihat kami. Teriring doa, semoga bakti Anda kepada ibu akan memudahkan rizki dan mengeluarkan Anda dari kesempitan. Dan penjelasan ini, semoga makin menambah semangat anda dalam berbakti kepada beliau di sisa-sisa usianya, dengan selalu mendoakan kebaikan dan keberkahan baginya. (MA)
Majalah As-Sunnah Baituna Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/ibuku-kurang-menghargai-jerih-payah-anak/